Minggu, 17 Oktober 2010

kerasnya hidup di ibukota

Jakarta adalah Ibu kota dari Negara Indonesia yang menjadi icon bagi rakyatnya karna suatu monument etnik khusus yang dibuat untuk menjadikan corak khas akan kota jakarta tersebut dan monument tersebut dinamakan “Monumen Nasional (MONAS)”.

Monumen Nasional yang terletak di Lapangan Monas,Jakarta Pusat, dibangun pada decade 1961an. Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir.Rooseno, mulai dibangun Agustus 1959, dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno.
Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 juli 1975 pembangunan tugu monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotism generasi saat ini dan mendatang
Tugu monas yang menjulang tinggu dan melambangkan lingga (alu atau anatan ) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia semua pelataran cawing melambangkan yoni (lumbung).
Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hamper disetiap rumah penduduk pribumi Indonesia.
Lapamngan monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu lapangan gambir, lapangan ikada, lapangan merdeka, lapangan monas, dan taman monas.Disekeliling tugu terdapat taman, dterbuka terdapat dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga.
Tapi kami disini bukan untuk membahas hal lebih detail tentang monas akan tetapi kami ingin mengulas tentang “PEDAGANG ASONGAN DI MONAS”.


LATAR BELAKANG
Monas merupakan salah satu ion kota jakarta, berada dipusat kota jakarta tentu ini merupakan tempat yang sangat strategis untuk dikunjungi oleh masyarakat jakarta.sehingga segala aktivitas timbul disana, baik yang berkunjung baik yang memanfaatkannya sebagai tempat mengais rejeki.pemerintah juga berusaha menjadikan daerah monas sebagai salah satuu taman nasional yang tebaik di Indonesia bahkan se-asiaa.upaya yang telah dilakukan adalah memugar taman dan bangunan serta menetapkan berbagai peraturan-peraturaan guna menciptakan keamanan dan ketertiban. Pemerintah mulai menertibkan para pedagang asongan yang berjamur di daerah mona tersebut swlama bertahun-tahuun sampai sekarang.
Melihat fenomena-fnomena yang terjadi bagaimana usaha pemerintah yang terass aagak sulit untuk menertibkan para pedagang asongan, kami tertarik untuk melihat dari dekat sikap dan perilaku para peagang asongan yang terkesan berani untuk melanggar peraturan
Kami membahas topic ini dengan tujuan agar mahasiswa dapat mengerti akan pentingnya suatu perjuangan hidup yang keras di kota jakarta.











Bab II
PEMBAHASAN
I. Prakata
Sadari dahulu sampai dengan era modernisasi jakarta telah menjadi suatu kota yang metropolis yang menjadi incaran para pendatang untuk mengais rezeki, ini dikarenakan para pendatang menganggap bahwa jakarta adalah kota emas karena bekerja sebagai apa saja bisa mendatangkan rincing-rincing rupiah.
Dengan kedatangan para pendatang tersebuat pemerintah kota jakartA dibuat pusing akan jumlah mereka yang bisa dikatakan “wah” bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk asli jakarta. Berdasarkan pusat data statistic penduduk jakarta saat ini mencapai angka 8.860.381 ( 2005 ).
II. Materi
Para pendatang tersebut dating dikarenakan suatu factor ekonomi juga dikarenakan factor social tentang anggapan kota jakarta sebagai “kota uang “ mereka berjuang untuk hidup dikota jakarta dengan sebagai variasi pekerjaa yang dilakoninya dari mulai pekerjaan tingkat tinggi : kerja dikantor atau punya usaha sendiri (wirausaha ) sampai pekerjaan yang tak layak untuk dikerjakan: mengamen, mengemmis, menjajakan diri, dan berdagang ditempat yang sudah jelas dilara ng seperti di monas yang akan kita bahas kali ini.

III. Aspek-Aspek
1.Pelaku
Dimateri ini yang menjadi pelaku utama adalah
a. Pedagang resmi
b. Pedagang tak resmi
c. Petugas ketertiban (satpol PP)







2.Alasan
Berbagai alas an telah kami temui berdasarkan hasil observasi kami di lapangan yakni:
3.Konsekuensi
Hidup di dunia ini pasti ada konsekuensinya,sama halnya jika para pedagang asongan liar yang berada di sekitar MONAS ini sedang bekerja, mereka punya konsekuensi unutk dihukum, ditertibkan bahkan dipenjara. Berdasarkan hasil observasi kami, sebagian besar data yang kami dapat, jika mereka tertangkap maka konsekuensinya adalah penyitaan barang dagangan dengan tujuan agar mereka jera dengan perbuatan mereka, akan tetapi cara tersebut masih kurang efektif dikarenakan masih ada saja kecurangan dalam pelaksanaan konsekuensi tersebut, seperti: pembebasan karena petugas telah menjadi kawan. Tapi dalam kecurangan tersebut ada juga trik dari pedagang yang lain tak cemburu dengannya yakni dengan menyerahkan akan tetapi bukan barang dagangannya melainkan hanya wadahnya saja. Konsekuensi lainnya juga terkadang para pedagang asongan ini mendapat “bogem mentah” dari para petugas penertiban, entah alasan apa yang membuat para petugas menjadi “beringas” tapi kata mereka itu semua telah sesuai prosedur.
4. Harapan
Para orang yang telah kami observasi mempunyai harapan-harapan yang menurut kami sulit untuk terealisasi, yakni pembebasan hak untuk berjualan di sekitar MONAS, mengapa kami mengatakan sulit terealisasi?? Itu dikarenakan pemerintah telah menetapkan tempat khusus berjualan selain itu juga dikarenakan biaya untuk menyewa suatu tempat itu terlalu mahal.
Memang pemerintah serba salah untuk menetapkan suatu kebijakan dikarenakan pasti ada salah satu pihak yang akan dirugikan, tapi keputusan dilarangnya berjualan disekitar MONAS pasti telah dipikirkan dengan matang.
Selain itu pedagang asongan disekitar MONAS dan pedagang asongan yang telah menyewa tempat juga merasa cemburu terhadap penjual souvenir resmi dikarenakan mereka bisa berjualan bebas, sedangkan pedagang yang menyewa tempat juga merasa cemburu akan adanya pedagang asongan liar yang berada disekitar MONAS nmereka mengatakan bahwa penghasilan mereka berkurang dengan adanya mereka.

Jumat, 06 Agustus 2010

Oleh ryo
Tanpa musik hidup hanyalah kekacauan, kata Nietzche. Sang filsuf juga bilang, musik itu pencerahan. Musik adalah penghiburan, kata Camus. Tak pernah ada orang bilang, musik itu jelek. Para ahli komunikasi kontemporer bahkan percaya, musik adalah medium komunikasi tak tersulihkan saat ini.

Saya bilang, musik, film, dan sepak bola adalah ikon peradaban abad ke-20 dan masa kini. Siapa unggul dalam ketiga ikon peradaban modern itu akan memiliki akses tak tergantikan dalam penyebaran kekuatan pengaruh pencitraan diri kepada orang lain. Pengaruh positif pencitraan diri tidak direbut melalui keperkasaan politik persenjataan (pertahanan) dan politik dagang (trik ekonomi).

Kemakmuran—betapa pun vitalnya—tak akan mudah merebut hati rakyat. Massa awam yang disebut rakyat di mana pun mudah trenyuh oleh ketiga pesona ikon peradaban itu—musik, film, dan sepak bola. Orang-orang Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur paham betul dengan pengaruh sugesti ketiga elemen budaya massa itu. Bola dikejar, layar disimak, dan bunyi didengar adalah pantun kegiatan sehari-hari mereka.

Tetapi karena elemen dasar materinya, yaitu bunyi, musik mempunyai kekuatan pengaruh sugesti tersembunyi yang tak terelakkan. Bunyi itu penetratif dan sugestinya merembus ke seluruh spektrum kesadaran—dalam gelap maupun terang—bak benda cair merembes ke ranah dataran benda padat. Ia tak terelakkan (unverhindem), bahkan juga untuk mereka yang tuli dan hilang ingatan sekalipun. Getaran frekuensi dan gelombang bunyi yang menjadi wahana primer seni bunyi (musik) menggelitik seluruh jaringan susunan syarat dan aliran darah serta cairan dalam tubuh makhluk hidup, termasuk hayat tumbuh-tumbuhan. Orang tuli tak mendengar (musik), tetapi menghayati kesadaran (meng-grahita) fenomena seni bunyi itu. Hanya keterbatasan kesadaran dan kecerdasan (inteligensi) yang memungkinkan terjadinya kendala terhadap persepsi keluasan seni bunyi yang disebut musik. ”Manusia bebal tak mengenal musik tinggi,” kata dirigen, musikolog, dan kritikus musik Jerman, Hans von Bulow, di abad silam.

Bukan hal baru bahwa musik dijadikan medium komunikasi sambung rasa di antara sesama. Dalam ranah politik diplomasi tak jarang musik menjadi alat pendekatan ampuh untuk menjembatani saling keterasingan, saling curiga, atau bahkan sifat saling mengancam dan bermusuhan di antara dua komponen liyan yang berseberangan.

Pada episode terakhir perang dingin tahun 1978 saya berkesempatan menyaksikan konser akbar Orkes Philhamoni Leningrad dari Uni Soviet di kota Toledo-Ohio, Amerika Serikat. Orkes dengan pimpinan dirigen legendaris Dmitry Kutienko dan solis biolin Victor Tretjakoff mendapat sambutan ekstra antusias dalam tur mereka di pusaran negeri kapitalis Amerika Serikat. Mereka memainkan seni musik tinggi karya pujangga besar musik Rusia Tschaikowski, Borodin, Kachaturian, Prokevieff, dan Schostakowitsch, yang adalah representan utama ideologi seni komunis di negeri tirai besi itu. Sebaliknya, pada tahun 1958 pianis muda brilian Amerika Serikat, Van Clibum (23), secara sensasional memenangi juara pertama lomba musik internasional, Kompetisi Piano Tschaikowski, di kota Moskwa. Van Cliburm lantas dikelilingkan ke segenap penjuru dunia sebagai duta perdamaian dan—tentu saja—sekaligus sebagai simbol superioritas Amerika atas pesaingnya.

Kini sejarah berulang. Perseteruan nuklir antara Amerika dan Korea Utara tak kunjung surut. George W Bush mendedah Korea Utara sebagai Setan Poros Kejahatan. Kim Yong Il bergeming. Korea Utara menghujat Amerika sebagai Imperialis Tengik Penjahat Kapitalisme. Segala upaya perundingan penuh siasat basa-basi perdamaian dilakukan—masing-masing melibatkan sekutu terdekat yang diharapkan bisa menetralisir dan menjembatani kedua belah pihak yang tatap sengketa secara langsung. Jalan buntu. Perseteruan yang telah berumur lebih dari setengah abad dilanggengkan!

Bujukan budaya lantas dilakukan—sebagai upaya terobosan damai. Tak kepalang tanggung. Awal pekan lalu selama 2 x 24 jam dirigen kenamaan Lorin Maazel beserta megasimfoni The New York Philharmonic Orchestra (NYPO) secara damai dan penuh persahabatan menginvasi langsung ke pusat jantung pertahanan Korea Utara, dengan ibu kota Pyongyang. Mereka memainkan karya George Gershwin (Amerika, 1898-1937) An American in Paris (1923), karya Antonin Dvorak (Ceko, 1841-1904) Symphony Nr 5 in Eminor op 95-From the New World (1892), dan karya Richard Wagner (Jerman, 1813-1883) Prelude dari babak ketiga opera Lohengrin (1850).

Saya kenal betul ini orkes simfoni. Saya menjulukinya sebagai menara tertinggi di kota New York dan pencakar langit musik dunia bersama orkes Philharmonia Berlin, London, Paris, Vienna, Moskwa, dan Petersburg (Leningrad). New York Philharmonic selalu tampil brilian dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi pendengarnya. Tahun 1984 orkes ini pernah tampil di Jakarta dengan dirigen legendaris yang macho karismatik Zubin Mehta dan batal tampil kembali di Jakarta dengan pimpinan maestro Kurt Masur gara-gara kemelut huru-hara lengsernya Soeharto, Mei 1998.

Musik punya kekuatan. Muhibah The NYPO pasti telah meninggalkan kesan yang mendalam bagi publik Korea Utara. Walau efeknya mungkin tak akan berpengaruh secara politis, dalam konteks humanitarian konser The NYPO niscaya memberi siraman persahabatan dan kemanusiaan bagi orang Korea yang hayatan musikal dan intelegensinya tidak bebal seperti George W Bush dan Kim Yong Il. Antara persepsi publik (common sense) dan pendirian elite politik (kekuasaan) adalah dua hal yang tidaklah harus selalu identik. Damailah mereka yang tidak bebal. Musik lebih baik daripada perang dan perseteruan!